Motto

If I Never Try, I Never Know The Result. God Knows I Worth It

Jumat, 07 Agustus 2015

Teruntuk Ayah dan Ibu


Ini aku dengan segala yang tuhan titipkan padaku. Ini aku yang terkadang tanpa sengaja bisa menyakitimu melalui lisan dan tingkahku. Ini aku yang seringkali tak mendengar nasehatmu karena keegoisanku. Ini aku yang selalu datang padamu saat hati tak sanggup menahan sedihku.
Ayah dan ibu, percayalah aku mencintaimu sangat mencintaimu, meski terkadang aku tak mampu menunjukan rasa itu melalui sikapku. Ayah dan ibu, percayalah apa yang aku lakukan sekarang dan berbagai rencana yang akan kulakukan mendatang tidak terlepas dari niat untuk membahagiakanmu. Ayah dan ibu aku membutuhkan keridhoanmu, membutuhkan restumu dalam setiap langkahku.
Maafkan anakmu ini wahai ayah dan ibu-ku, maafkan atas segala kesalahan yang entah berapa banyak menoreh luka dihati-mu. Maafkan anakmu ini yang belum mampu memberikan yang terbaik untukmu. Wahai Ayah dan ibu, betapa bahagianya aku punya orangtua sehebat kalian. Betapa bersyukurnya aku, tuhan mengizinkanku menjadi anak yang dititipkan pada kalian. Wahai ayah dan ibu tiada sedikitpun penyesalan pun kekecewaan atas kalian.
Ayah dan ibu, meski kita terpisah jarak. tidak pernah sekalipun aku melupakan namamu disetiap sujudku. Tidak sekalipun aku melupakan permohonanku pada tuhan Rabb-ku untuk kesehatan dan panjang umurmu.
Ayah dan ibu, seringkali ku dengar kau berkata ingin aku ada didekatmu, ingin aku slalu bisa melihatmu dan sering-sering ngobrol denganmu. Saat pertama aku mendengar itu, aku menolak dan berkata bahwasanya aku perlu belajar jauh dari mu, menjadi pejuang di kota lain tanpa sedikit-sedikit mengeluh kepadamu dan engkau mengizinkanku dengan ridhomu. Sudah bertahun-tahun ternyata aku jauh darimu, wahai ayah dan ibu, dan hanya sesekali aku mampu menemuimu dan berbicara denganmu. Aku sangat menikmati dunia-ku dan nyaman dengan segala yang ada disekitarku. Aku belajar mengenal dan memahami sesuatu yang asing dan sesegera mungkin mampu beradaptasi.  
Kini kalian kembali sering berucap ingin aku dekat dengan kalian. Ayah dan ibu … aku sadar dan paham kalian mulai membutuhkanku. Kalian ingin banyak bercerita dan bertemu seperti dulu saat aku masih dalam gendonganmu. Ayah dan ibu… maafkan aku yang tak segera mengerti maksudmu. Aku akan berusaha melakukan yang kau inginkan wahai ayah dan ibu. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik dan mencoba memberikan yang terbaik untukmu.  
Semoga tuhan meridhloi niat-ku ini wahai ayah dan ibu. Dengan seizinya inshaallah aku mampu lebih sering menemuimu, lebih sering melihatmu, slebih sering berbicara dan bercanda denganmu. 

Dalam Sebuah Perjalanan

13 Juli 2015


Waktunya mudik sebelum lebaran, sengaja dan biasa selalu pulang sore hari usai kerja. Waktu itu travel agak lambat datengnya, mungkin karna arus mudik yang bikin macet didaerah jogja. Travel harusnya dateng jam 17.00, tapi karena macet travel datang pas adzan maghrib jadi bisa membatalkan puasa sebelum berangkat.
Belum sempet shalat maghrib langsung berangkat dan berniat aku jama’ dengan isya sesampainya nanti di resto. Waktu itu travel gak penuh dan harusnya aku ada dikursi tengah tapi aku memilih untuk duduk di kursi paling belakang yang kosong tanpa penumpang lain dan bisa aku tempatin sendiri.
Setibanya di resto dan waktu sudah menunjukkan shalat isya langsung saja menuju ke mushola, disana cm ada dua orang, aku dan salah satu laki2 yang aku gak tau ada di travel mana.
Setelah shalat aku menuju resto untuk makan , kebetulan agak sepi itu resto yg makan Cuma beberapa aja. Aku memilih tempat paling pojok deket TV dan lagi-lagi pengen menyendiri. Pas jalan menuju ke meja, ketemu sama orang yg spertinya td juga ada di musholla, ya sekedar saling melempar senyum saja gak ada obrolan apapun.
Usai makan aku menuju kekasir, dan terjadilah percakapan
Saya :“meja nomer 2 mbak “
kasir : “Sudah dibayar tadi mbak”
(beberapa detik saya bengong, gak paham maksudnya)
Saya : “mbak saya makan sendiri lho, diujung sana dan gak ada orang yg saya kenal disini”
Kasir :”iya mbak, sudah dibayar tadi sama masnya yang pakai baju hitam”
(bengong lagi deh saya ,, sepanjang perjalanan gak sampe ngobrol sama orang sedetik pun, duduk sendiri dan makan pun menyendiri, bagaimana bisa?? Mikir keras)
Saya : “yaudah mbak makasih”
(Berbalik dari kasir sambil celingukan nyari orang berbaju hitam, sepi gak ada orang, tapi diujung ada 2 laki2 yang satu supir travel yg satu laki2 berbaju hitam. Mau gak mau daripada penasaran aku samperin itu orang)
Saya : Mas maaf, tadi apa bayarin makanan saya (dengan nada sedikit tinggi namun tetap sopan, khawatir salah orang)
Masnya : eehh  iyaa mbak (dengan nada ragu dan terkesan segan, myngkin karena nada tinggi saya)
Saya : “kenapa mas? Kok tiba2 bayarin. Tadi habis berapa biar saya ganti”
(pada saat itu saya setengah marah dan gak trima, bukan apa2 dan bukan sok gak mau dibayarin, tapi kita ngobrol aja gak pernah dan ketemu cm sekedar papasan aja, gimana ceritanya langsung bayarin makananku)
Masnya : Gak papa mbak, udah gak usah diganti (dengan wajah gak enak dan terkesan sungkan)
Daripada jadi tontonan orang karena berdebat ya sudahlah, saya ucapkan terimakasih dan pergi berlalu menuju mobil.
Pas mau berangkat baru aku tau, laki-laki itu juga ada di satu travel tapi di kursi paling depan deket drivernya. Dalam hati “oh my GOD ada-ada saja orang jaman sekarang, baik sih tapi bikin orang jantungan”
Pura – pura gak tau dan cuek saja sama masnya tadi, pasang earphone dan kembali tidur berharap pas bangun udah ada didepan rumah.
Sampainya di purwodadi ada yang turun dan kebangun lah saya. Tau-tau masnya ke belakang dan mau pinjam powerbank, kebetulan saya juga gak bawa jadi ya maaf tidak bisa membalas kebaikan saudara :p. Setelah menuju ke kursi depan dia mengambil tas dan kembali ke belakang, bilang mau duduk dibelakang dengan alasan didepan ada penumpang lain. Masa iya saya harus melarang, emang travel siapa, akhirnya dia duduk dibelakang. Beberapa menit saling diam “krik krik krik” gak ada pembicaraan.  
Dia memulai mengklarifikasi “maaf ya mbak bukan bermaksud apa-apa kok tadi Cuma bayarin biasa aja, karena saya terbiasa seperti itu”. Ha?? Ini orang baik banget ya, sampe suka bayarin orang yang gak dia kenal sekalipun -__- . Saya Cuma diem aja sesekali melempar senyum dan kembali merem meski gak tidur.
Sepertinya masnya si krasa kalo aku msih belum bisa menerima alasan dia, alhasil dilanjutlah dia berbicara “saya ini ngerantau mbak, jadi saya terbiasa sok kenal sok deket sama orang, karena diperantuan kalo saya Cuma diam gak bakal cepet punya temen”. Langsung saja saya ngebuka mata, melepas earphone dan menegakkan kursi yang saya turunkan beberapa derajat dan mencoba membalas kalimat dia se santai mungkin.
Dari pembicaraan ternyata  masnya kerja dikalimantan, disalah satu universitas islam disana (lupa tepatnya nama universitasnya, yang pasti yayasan dan ada pesantren nya)dia bekerja sembari melanjutkan pascasarjana di salah satu universitas di Samarinda.  Dia asli Blora yang dulunya juga menempuh S-1 di universitas yang aku tempati namun dengan jurusan yang berbeda dan angkatan satu tahun diatasku.
Awalnya dia mengira aku masih menempuh S-1 padahal salah besar, aku sudah bekerja 2 tahun :D. Mikir juga si, jangan-jangan dia bayarin makan karena ngira aku masih mahasiswa yang belum bekerja, hahaha.
Disela pembicaraan dia menerima telfon dan sepertinya cukup serius. Setelah menutup telfon dan beberapa saat diam, dia kembali bercerita. Ibunya yang barusan telfon, beliau sedang sakit stroke dan sedikit kesusahan untuk berjalan, semoga ibu segera membaik , aamiin J
Berjalanya pembicaraan semua mencair, ternyata dia sangat sopan, berwawasan luas dan tidak ada niat buruk sama sekali hanya saja aku yang salah menangkap maksud baiknya. Darinya aku bisa bercermin bahwasanya terkadang aku terlalu naïf, terlalu percaya diri dengan spekulasi.