Rasanya
ada yang beda hari ini, entah apa yang sudah terjadi entah apa yang sudah
terlewati. Sudahlah nikmati hari ini, kau sudah bekerja keras hati, nikmatilah
istirahatmu, berdamailah denganku.
“Kinanthi“
buku yang sedang kubaca hari ini, lembar demi lembar kubuka dan aku berhenti
pada halaman ini. Halaman 348, 349, 350, tulisan seorang kinanthi kecil yang
kini menjadi Prof. Kinanthi Hope, Ph.D untuk seorang Ajuj. Aku tidak hanya
berhenti pada halaman ini, aku masuk dalam setiap kalimatnya, aku merasakan
tulisanya.
Mengapa
kau tetap bergeming di kepalaku dan tak hendak pergi?
Bukankah
sudah kupersilahkan kepadamu untuk terbang mengawan?
Apa
kabarmu hari ini? Masihkah sendu matamu itu? Aku tahu kau tak akan terganti.
Sekuat apapun kedatangan orang baru pada hidupku, kamu akan selalu menang.
Semakin
jauh dari waktu ketika aku merasa memilikimu, meski aku tak pernah memilikimu.
Sekarang tanpa menyalahkan janjimu, aku kehilangan semua kata-katamu. Bahwa aku
selamanya bagimu. Bahwa … kau mengembalikanku ke masa itu. Tidakkah aku penting
bagimu? Pernahkah kau memikiran sedang apa aku hari ini? Sementara ketika kau
mendatangi mimpiku aku menangis.
Aku
merasakan kehadiranmu, saat itu. Aura hatimu. Senyum surgamu. Bahkan, setelah
aku tak lagi berharap untuk bertemu, aku tetap menginginkan auramu. Berharap
kamu mampir sejenak di bunga tidurku. Sejenak saja, dan itu sudah cukup
membuatku menangis. Semakin aku merasa pernah memiliki, semakin keras rasanya
kehilangan. Jadi, mana yang lebih baik?
Tiba-tiba
aku ketakutan dan kehilangan pegangan. Kali pertama setelah begitu jauh langkah
kakiku dan aku tak pernah ragu atau berhenti. Tiba-tiba aku begitu rapuh dan
berharap kau ada disini. Menatapku, mengetahui aku. Memahami apa yang ada di
benakku …
Masih
berhakkah aku menemuimu, meluruhkan segala resahku. Mungkin sudah tidak lagi.
Atau memang tidak pernah aku memiliki hak untuk itu. Yang pasti aku begitu
merindukanmu … berkeinginan merengkuh tanganmu. Menangis dipelukmu. Bisakah?
Tentu saja tidak. Kaupun pasti akan menolak.
Mungkin,
ini waktuku untuk melangkah lagi. Entah untuk apa , entah untuk siapa. Yang
pasti bukan untuk diriku.
Bukan
mauku, melainkan memang takdir ini mengharuskanku berbuat begitu. Kau begitu
kuat … Auramu begitu kuat. Aku sangan rindu … Sangat ingin mendengar hangat
suaramu.
Seperti
dulu
“Kinanthi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar